Kamis, 29 September 2011

Menghitung berkat

Sejak divonis sakit NS, gue seringkali melakukan obrolan dengan diri sendiri. Nah gue kena sakit NS atau gila nih jangan2? hehe maksudnya sejak sakit, gue jadi sering berefleksi (bener gak sih pemilihan kosakata nya?). Gue meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan cobaan dari Tuhan, gue menganggap ini semua hanya bagian dari hidup yang harus gue jalani. Gue sangat menghindari pemikiran bahwa Tuhan sedang mencobai gue, atau bahkan berpikir dosa apa gue sampe gue harus dikasih sakit begini. Ini sakit penyakit kok, bukan kutukan ga ada kaitan nya sama dosa2. Gue pernah sih berpikir kenapa gak Nazarudin atau Gayus Tambunan aja yang dikasih sakit NS? Tapi kemudian gue tersadar, kenapa gue harus mempertanyakan hal itu sih? sedangkan ketika gue lulus SMU dengan predikat 3 terbaik, gue ga nanya kenapa sih gak Melvina, Soang, atau Pepel (nama sahabat SMA gue) aja yang juara?

Terkadang kita sebagai manusia, dan tentunya termasuk gue (karena gue juga termasuk manusia) terlalu fokus dan sibuk menghitung dan bahkan mengingat hal-hal yang gak enak. Dan setelah gue pikir-pikir hal itu masuk akal sih, soalnya dibanding berkat yang kita telah terima, hal yang ga enak itu jumlah nya jauh lebih sedikit maka dari itu otak kita yang terbatas hanya mampu mengingat yang ga enak, karena memori otak nya gak cukup untuk mengingat berkat yang jumlah nya luar biasa banyak nya. Coba bayangkan, dalam satu hari ketika kita bisa bangun pagi hal itu sudah termasuk berkat, terus sampai kantor dengan selamat juga berkat, bisa makan siang juga berkat, bahkan bisa menggerakkan jari-jari tangan di atas keyboard komputer juga sebuah berkat, pulang ke rumah dg selamat berkat, pasangan, anak, dan orang tua sehat juga berkat. Tapi seringkali kita mengeluh terjebak macet,kerjaan numpuk gak kelar2,dan duit gajian abis. Gue inget satu buah lagu "Bila topan kras melanda hidupmu bila putus asa dan letih lesu berkat Tuhan satu satu hitunglah kau niscaya kagum oleh kasihNya"

25 tahun dalam hidup gue, rasanya gue selalu hidup penuh kebahagiaan. Lahir di tengah keluarga harmonis, dengan papi dan mami yang luar biasa cinta kasih nya, bisa menikmati pendidikan dari sekolah yang terbaik dan selalu memperoleh nilai akademis yang baik, lulus kuliah bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, menikah dengan orang yang dicintai, punya anak yang sangat cantik, dikelilingi sahabat dan orang2 yang baik, dan sebagai nya. Jadi kalau saat ini akhirnya gue diijinkan Tuhan untuk mengalami sakit rasanya bukan kiamat untuk hidup gue. Bayangkan 25 tahun lamanya gue selalu menikmati berkat, masa iya gara2 sakit yang baru sekali ini akhirnya gue mau marah2 sama Tuhan dan menganggap Dia ga sayang sama gue serta melupakan semua berkat yang sudah pernah gue trima?

Namun gue memang hanya manusia biasa, gue gak munafik kok kalau memang disaat gue sakit ini ada fase dimana gue merasa down, gue merasa lelah, cape menjalani ini semua, gue frustrasi, depresi dan akhirnya jadi sensi. Tapi seperti petuah suami gue, perasaan itu jangan terus2an diikuti karena bikin keadaan gue makin terpuruk. Terkadang manusia memang "menikmati" perasaan sakit, tapi percaya deh menikmati rasa sakit itu gak akan membantu, yang ada justru bikin kita makin down.

Tidak ada komentar: