Selasa, 01 Desember 2015

November Galau

Mungkin bulan November 2015 ini termasuk bulan yang cukup berat untuk aku jalani. Setelah merayakan ulang tahun suami secara sederhana dengan makan-makan di rumah (menu masakannya dimasak khusus oleh Ayah saya)di tanggal 11 November kemarin, kemudian tanggal 13 November nya suami harus masuk RS karena demam yang tidak kunjung turun (dan ternyata hanya radang tenggorokan yang mungkin cukup bandel jadi nenggak amoxcilin pun ga mempan) maka setelah Ayah berulang tahun di tanggal 22 November maka tanggal 23 Novembernya saya menerima sebuah pesan yang cukup menegangkan. Berawal dari tanggal 19 November 2015 ketika Ibu saya seringkali mengirimkan pesan singkat melalui BBM dan menceritakan kalau Ayah saya seringkali merasakan nyeri di area dekat selangkangan yang mana pada area tersebut juga ditemukan sebuah benjolan. Akhirnya di tanggal 23 November Ayah dan Ibu saya berkunjung ke seorang dokter spesialis patologi yang ada di Semarang namanya dokter Adjeg Tarius, SpPA. Setelah pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Adjeg secara mikroskopis dengan mengambil sedikit jaringan dari benjolan tersebut dan memeriksanya dibawah mikroskop maka terlihat ada sel-sel yang mencurigakan yang bisa mengarah ke sel kanker. Kemudian beliau merekomendasikan agar benjolan tersebut diambil saja untuk diperiksa lebih lanjut. Mendengar cerita itu rasanya maaak jedeeeeeerrrr. Ada begitu banyak pemikiran buruk dan ketakutan jika ternyata setelah diperiksa hasilnya adalah kanker. Mendengar cerita teman yang terkena kanker itu sering, tapi untuk mengalami di dalam keluarga sendiri rasanya tidak siap. Mau berdoa pun sampai bingung harus mengucapkan apa. Dan berhubung saya adalah anak tunggal, maka saya harus tegar dan menguatkan Ibu saya. Segala pesan yang saya kirimkan ke Ibu saya semuanya berisi kalimat2 menguatkan yang padahal ketika saya mengetik itu air mata saya menetes terus. Tapi saya tidak mau orang tua saya tau, dan ketika saya bertolak ke Semarang untuk menemani Ayah saya operasi maka saya harus melakukan akting dan sandiwara sebagai lina the warrior princess. Tanggal 26 November 2015 saya berangkat ke Semarang, ini pengalaman saya naik pesawat seorang diri. Biasanya selalu ada orang tua, teman atau suami yang menemani. Takut? sudah pasti, tapi rupanya kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan Ayah mengalahkan rasa takut untuk terbang sendirian. Sore itu untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Dokter Adjeg SpPA di RS Columbia Asia Semarang-Jateng. Beliau meyakinkan kami sekeluarga untuk tidak khawatir dalam menghadapi operasi besok pagi. Sebelumnya waktu saya masih ada di Cikarang, saya sudah berkomunikasi dengan beliau via telepon. Dari percakapan itu beliau menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh kaum awam seperti saya mengenai kelainan yang ditemukan pada benjolan Ayah. Penjelasan yang diberikan cukup detail namun mudah dimengerti karena dia banyak menggunakan perumpamaan dengan bahasa sehari-sehari, sehingga kapasitas otak saya yang terbatas ini masih bisa menangkap maksud beliau. Meskipun judulnya sudah diberikan penjelasan se-detail mungkin tapi tetap saja kekhawatiran tersebut masih ada. Dan rupanya beliau sebagai dokter mungkin bisa menangkap nada khawatir dari percakapan saya dengannya, karena berkali-kali beliau juga meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan bahwa operasi yang akan dilakukan nanti masuk dalam kategori operasi ringan. Malamnya saya juga bertemu dengan dokter Subianto yang akan mengoperasi Ayah saya. Orangnya santai dan tidak menakut-nakuti atas apa yang meninmpa Ayah saya. Oleh dok Subianto, benjolan pada paha Ayah diberi tanda dengan spidol mungkin untuk mempermudah operasi besok pagi, jadi beliau membuat semacam pola (ya keleeuuus memang mau bikin baju). Tanggal 27 November 2015 jam 10 operasi dilakukan, setelah memakan kurang lebih 1.5 jam Ayah keluar dari ruang operasi meskipun masih belum boleh pindah ke kamar rawat inap. Puji Tuhan kondisi Ayah pasca operasi baik, dan Ayah masih terlihat setengah mengantuk karena mungkin masih ada efek dari bius yang diberikan oleh dokter. Sore harinya saya kembali bertemu dengan dokter Adjeg, dan menurut penjelasan beliau jika dilihat secara kasat mata penampakan benjolan yang telah diangkat itu sepertinya masih masuk dalam kategori tumor jinak. Namun untuk mengetahui lebih detail maka harus diperiksa lebih lanjut secara mikroskopis, yang mana artinya benjolan tersebut harus dipotong kecil-kecil dan diperiksa dibawah mikroskop. Buat yang gak tau dokter spesialis patologi anatomi itu dokter apaan sih, saya coba sedikit kasih gambaran. Kalau menurut om google, spesialis patologi anatomi itu spesialisasi di bidang kedokteran yang memeriksa atau melakukan diagnosis terhadap suatu penyakit berdasarkan pemeriksaan makroskopis (kasat mata) dan mikroskopis (dengan mikroskop). Jadi kalau dokter bedah tadi hanya bertugas mengangkat benjolan tersebut, maka untuk tahu lebih jelas apakah itu berbahaya atau tidak adalah pekerjaan dari dokter patologi anatomi. Tapi buat saya pribadi dokter Adjeg bukan hanya sekedar dokter spesialis patologi, dia lebih seperti malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan. Kenapa saya bisa bilang begitu? karena pengetahuan saya dan Ibu saya mengenai kelainan ini nol besar. Ditengah ketidak tahuan kami, dan kepanikan serta ketakutan kami, dokter Adjeg banyak membantu kami. Mulai dari menjelaskan dengan cukup detail (dan sabar, karena bolak balik saya telepon dia), membantu kami memilih dokter bedah dan bahkan memilih rumah sakitnya. Kalau tanpa bantuan beliau rasanya saya dan Ibu saya akan kehilangan cukup banyak waktu dalam mengambil keputusan. Karena ada begitu banyak masukkan dari teman2 Ibu dan bahkan teman2 saya tentang bagaimana kami harus menindaklanjuti. Mulai dari saran mengenai pemilihan lokasi (dalam dan luar negeri), pemilihan rumah sakit, sampai referensi dokter. Tapi karena kami (terutama Ayah saya) sudah sangat yakin dengan dokter Adjeg, maka saran dari beliaulah yang kami turuti. Tanggal 28 November 2015 sore hasil pemeriksaan mikroskopis telah selesai,dan Puji Tuhan hasil yang diperoleh tidak ditemukan adanya sel ganas. Menurut dokter Adjeg hasil diagnosa nya disebut Nodular Faciitis (googling sendiri aja ya, atau nanti kalau saya sempat saya rangkumkan tulisan mengenai nodular fasciitis). Saat itu rasanya saya ingin memeluk semua orang yang ada di dalam ruangan (lebay mode on). Dan saya rasa pertemuan saya dengan dokter Adjeg dan dokter Subianto bukan suatu kebetulan semata, saya yakin Tuhan juga yang sudah menyiapkan segalanya. Rupanya Tuhan masih memberikan perpanjangan waktu untuk Ayah, dan semoga perpanjangan waktu ini bisa digunakan dengan baik oleh kami semua. Buat dokter Adjeg, dokter Subianto dan seluruh perawat di Rumah Sakit Columbia Asia Semarang saya ucapkan terimakasih. Semoga Tuhan memberkati kalian semua.